Jangan Bangkrut setelah Lebaran

Oleh: H M. Siradj

SUDAH terima THR (tunjangan hari raya)? Jawabannya bisa begini: "...Bablas angine!" Jawaban kocak versi iklan jamu masuk angin itu mengandung arti bahwa uang THR-nya ludes dibelanjakan. Bahkan, ada yang masih perlu "ngebon'' gaji bulan berikutnya atau menggadaikan barang untuk "nomboki" keperluan pernak-pernik Lebaran.

Tidak dapat dimungkiri, pacuan "adrenalin" untuk berbelanja pada hari-hari terakhir Ramadan cenderung lebih tinggi daripada nilai uang THR yang diterima. Lebih-lebih, semakin mendekati hari H, mal-mal dan toko-toko semakin aktif menggoda dengan promosi besar-besaran. Jadi, jangan heran apabila setelah libur Lebaran, banyak orang yang merasa ''bangkrut''!

Itu pun masih mending jika dibandingkan dengan sebagian karyawan lain yang terpaksa tidak menerima THR lantaran sang juragan tempatnya bekerja berkilah bahwa perusahaan lagi merugi. Nasib yang sama menimpa para pegawai negeri sipil (PNS) di sejumlah kabupaten/kota yang tidak menerima THR pada Lebaran kali ini.



Bukan Gaji Ke-13

Sampai saat ini, pelaksanaan THR masih merujuk pada Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja Nomor 04/Men/1994. Dalam permen itu disebutkan, yang dimaksud THR adalah pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain.

Banyak orang yang salah mengartikan bahwa THR merupakan pendapatan tambahan sehingga banyak yang menyebutnya dengan istilah "gaji ke-13". Padahal, sebenarnya THR adalah hak yang seharusnya didapatkan karyawan atau buruh atas hasil kerjanya selama satu tahun. Meski demikian, pada kenyataannya, masih ada majikan (pengusaha) yang mengabaikan hal itu.

Menurut pasal 2 Permen 04/1994, pengusaha wajib membayar buruh yang sudah bekerja secara berturut-turut selama tiga bulan atau lebih. Peraturan tersebut tidak membedakan status buruh, apakah buruh tetap, buruh kontrak, ataupun buruh paro waktu. Dan, menurut peraturan itu juga, setiap orang yang mempekerjakan orang lain -disebut pengusaha- dan wajib membayar THR. Tidak mempersoalkan, apakah perusahaan perseorangan, perseroan terbatas, ataupun yayasan.

Besaran THR, sebagaimana diatur dalam pasal 3 Permen 04/1994, dirumuskan sebagai berikut: Masa kerja 12 bulan atau lebih, THR yang harus dibayar adalah 1 kali gaji. Untuk masa kerja 3 sampai 12 bulan, jumlah bulan masa kerja dikalikan 1 kali gaji.

Ketentuan menurut permen di atas adalah ketentuan jumlah minimum. Apabila perusahaan memiliki aturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama atau kesepakatan kerja yang memuat ketentuan jumlah THR lebih dari ketentuan peraturan tersebut, jumlah yang lebih tinggi yang berlaku. Sebaliknya, apabila ada ketentuan yang mengatur jumlah THR lebih kecil, yang dipakai patokan adalah permen tersebut.

Kapan THR dibayar? Menurut permen, paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamanaan si pekerja. Namun, apabila ada kesepakatan antara pengusaha dan karyawan untuk menentukan hari lain pembayaran THR, hal itu dibolehkan.

(PHK) sebelum hari raya

Guna mengantisipasi pemecatan (PHK) karyawan sebelum hari raya, pada pasal 6 Permen 04/1994 disebutkan bahwa untuk pekerja yang dipecat maksimum 30 hari sebelum hari raya, si pekerja tetap berhak atas THR. Untuk buruh kontrak yang kontraknya berakhir paling lama 30 hari sebelum hari raya si pekerja, dia tidak berhak atas THR.

Bagaimana jika perusahaan tidak mampu mengeluarkan THR? Pasal 7 menyebutkan, pengusaha boleh membayar THR lebih kecil daripada ketentuan tersebut, dengan syarat harus mengajukan permohonan lebih dulu kepada Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan Depnakertrans. Pengajuan itu paling lambat dua bulan sebelum hari raya dan yang memutuskan besaran THR-nya adalah badan tersebut.

Konsumtif

Sebenarnya, yang dibelanjakan masyarakat menjelang Lebaran seperti ini tidak sepenuhnya barang-barang yang dibutuhkan untuk berlebaran. Misalnya, untuk beli barang-barang konsumtif, seperti komputer atau ganti handphone. Senyampang dapat uang THR, sekalian beli karena pada bulan-bulan sebelumnya gajinya tidak mencukupi untuk membeli barang-barang tersebut.

Padahal, uang THR mestinya bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki perekonomian keluarga. Misal, untuk bayar utang atau melunasi kartu kredit sehingga terkurangi atau bahkan terbebaskan dari biaya bunga. Syukur-syukur, masih ada kelebihan yang bisa ditabung.

Lantas, bagaimana pemenuhan kebutuhan primer Lebaran, seperti biaya mudik, konsumsi tamu Lebaran, dan sejenisnya? Bukankah biaya transportasi dan harga bahan pokok cenderung meroket saat menjelang hari raya? Tetap batasi diri, jangan sampai melebihi nilai uang THR. Sebab, sejatinya pemasukan (keuangan) itu bersifat terbatas, sedangkan kebutuhan dan keinginan bersifat tidak terbatas.

Ada beberapa cara agar uang THR tidak mudah habis. Di antaranya, bersikap "lebih keras" terhadap diri sendiri. Belanjakan uang THR hanya untuk hal-hal yang betul-betul penting dan terkait dengan Lebaran. Hindari pengeluaran yang tidak perlu, meski Anda sedang "memegang" uang ekstra. Kalau perlu, buat perencanaan belanja secara rinci, seperti biaya transportasi mudik, oleh-oleh bagi sanak keluarga di kampung, penganan kecil dan hidangan hari raya, baju baru untuk anak-anak, dan sebagainya.

Setiap orang sebenarnya bisa mengatur keuangan pribadi atau keluarga, tapi tidak semua orang bisa mengendalikan diri agar tidak boros. Tapi, Anda tidak ingin "bangkrut" setelah Lebaran kan? (*)

*) H M. Siradj , wartawan, Direktur JP Telecommunications
Sumber : Jawa Pos

0 komentar: